Ilustrasi.(Net) |
Samosir(DN)
Seorang penulis muda mendengar lagu gubahan John Lennon tahun 1970 dan ia terpesona. Setiap bait dari lirik "Working Class Hero" itu membuatnya mengingat persoalan hidup. Tengah malam ia mengambil laptop, lalu mulai bekerja.
Tapi begini, 60 menit di hadapan papan ketik, tak satu pun kalimat berhasil ia tulis. Ia tak tahu pasti bagaimana persisnya kata-kata bisa dirangkai menjadi semacam senandung, yang bukan cuma menalikan sikap personal. Melainkan sebuah cerita yang mengharukan.
Ia memandang ke rak buku. Tak sengaja membaca kalimat pada sampul belakang buku favoritnya: "Penguasa datang dan pergi. Cerita saya masih ada."
Kata-kata itu menancap. Kemudian dengan cepat ia menyadari, bahwa kalimat-kalimatnya selama ini makin membosankan. Tak lagi menggugah. Bahwa inspirasinya, nol.
Pemuda itu--meskipun tak becus menulis-- punya banyak tenaga untuk melamun. Otaknya butuh nutrisi. Bila musik dan buku gagal, pilihan terakhir adalah film.
Lebih dari 180 menit ia menatap layar. Namun, tak banyak yang bisa ia ingat dari film All The President's Men, yang sudah belasan kali ia tonton itu. Mungkin kecuali ini: Bob Woodward dan Carl Bernstein yang tergoda oleh rasa ingin tahu dan terlecut oleh tugas.
Tapi kisah itupun tak cukup untuk membuat ia menulis. Sungguh membingungkan memang.
Ia menjadi jengkel. Merasa ada sesuatu yang harus ia tulis, yang mesti menjawab sebuah pertanyaan, yang sedari tadi tidak mampu ia pecahkan.
Untuk menuntaskan pekerjaannya, ia pergi ke teras, mengambil napas, membakar rokok. Kopi dan anggur di kanan-kiri. Berpikir keras. Lebih keras ...
Tiba-tiba, naskah tadi tak berminat ia teruskan. "Berengsek!" katanya, "ini Mayday (mungkin maksudnya adalah May Day).
Bekerja itu kuno, waktunya demo." Dan akhirnya ia memilih bersantai mengutak-atik ponsel, ternganga pasif. Mengintip kecemerlangan.***(SBS).