Ilustrasi.(Net). |
Oleh: Suriono Brandoi Siringoringo
Kau, bocah ingusan tahu apa tentang cinta dan nafsu, bahkan menutupi kemaluanmu pun kau tak sanggup. Bedebah kecil!," serumu kepadaku.
Tak mau kalah, lantang suaraku mengepal tangan meninju langit. “Bahkan aku lebih tahu daripada kau yang berjas dan bersafari di gedung megah sana, sumpah! Aku lebih tahu daripada kau tentang nafsu dan cinta."
"Bukan aku tak mau menutupi kemaluanku, sebab tak ada lagi manusia memiliki rasa malu di negeri ini, tak terkecuali denganmu. Orang tua keji!!”.
“Hei bedebah kecil, apa sebab kau katakan aku keji?,” tanyamu kepadaku.
“Pikirlah, kurang keji apa anda rupanya? Mengajarkan kami bagaimana menipu, menjilat, memeras, membohong, menindas dan segala kebusukan moral telah kau perlihatkan kepada kami. Apa lagi kalau tak keji namanya !?," jelasku padanya.
Masih ingat di benakku bagaimana dulu kau selalu datang ke rumah kecil kami dan mengelus kepala kami satu persatu, lalu membelikan kami jajanan pasar yang kita makan bersama. Dulu sekali saat kau masih bukan siapa-siapa.
Bersama ayahku kalian mulai menyusun sebuah program yang akan mengantarkanmu menuju sebuah kursi yang kalian sebut ‘masa depan’.
Siang malam kau dan ayah mengumpulkan rupiah, mencari kolega, mengadakan pertemuan-pertemuan untuk menyatukan pendukungmu, lalu kerja keras itu benar-benar menjadikanmu tokoh sentral yang hanya dengan mengedipkan mata kau bisa mendapatkan segalanya.
Sungguh, aku tak percaya! Kau sedang jaya-jayanya ketika ayahku jatuh kelelahan di kantormu. Kau menyuruh pengawal-pengawal bodoh itu menyingkirkannya. Satu kalipun kau belum pernah menjenguknya sampai dia sadar dari koma dan sekarang terbujur seperti mayat hidup.
Kau hanya mengiriminya karangan bunga bakung, namun baru sekarang aku tahu, bunga itu tanda berkabung atas kematian.
Ibuku, yang dulu sering kau panggil kakak, mendatangimu berkali-kali dan kau usir berkali-kali. Dia menangis berhari-hari, hingga di suatu pagi dia menabrak setiap dinding rumah karena kehilangan cahaya matanya.
Apalagi yang kau inginkan setelah menggerogoti hidup kami, mencungkili bola mata ibu kami, menggerus tulang belulang ayah kami?
Terakhir kali kau datang untuk melucuti pakaian kami, sehingga kami menggigil kedinginan. Kami sudah tak punya apa-apa, bahkan impian saja sudah menjadi sesuatu yang berlebihan jika kami menginginkannya.
Sungguh kami menyesal, mendukungmu dalam pemilu lima tahun lalu, kami kira janji-janji itu benar, kami bisa bersekolah dengan murah, makan tiga kali sehari, menjadi pesakitan tanpa takut mati atau setidaknya karya kami dihargai.
Lama aku terpekur memandangi sosokmu yang memenuhi layar televisi butut kami. Kau dengan jas kebesaranmu itu, akhir-akhir ini semakin banyak diperbincangkan seolah-olah kau adalah pakar setiap bidang ilmu.
Di satu channel kau membicarakan politik kerakyatan, kemudian di channel lain. Kau bahas permasalahan pidana pencucian uang, padahal lewat cerita ayah dulu, kau bahkan meraih gelar sarjanamu lewat membeli paket di sebuah universitas yang memperjualbelikan pendidikan.
Sekali waktu pernah kubaca sebuah artikel yang berisi penelitian tentang orang-orang pembual. Ciri-cirinya persis kau dan saudara-saudaraku menjadikannya bahan guyonan sampai kami tertawa terkencing-kencing. Namamu selalu mereka jadikan tokoh antagonis yang nasibnya berakhir tragis dalam dongeng-dongeng pengantar tidur anak-anak mereka.
Aku malu membayangkan semua itu, apalagi ketika kulihat kau tertawa terbahak sampai air liurmu muncrat ke kamera para wartawan. Perutmu mengeluarkan kentut busuk ke seluruh penjuru rumah dinasmu yang agung. Tak satupun berani menutup hidung.
Kau dan bualan konyolmu adalah harga mahal jika diabadikan di atas kertas atau ditayangkan berulang kali melebihi gosip selebriti.
Kulihat kau sekali lagi, dengan bibir miring ke kiri melirik jam tangan keluaran luar negeri yang nominalnya saja bisa membuat seorang gadis menjual harga diri. Membuat seorang ayah menggadai anaknya sendiri dan mampu membuat seorang pejabat menandatangani proposal fiktif buatan sendiri.
“Ah, saya ada rapat sebentar lagi, sampai di sini dulu ya, hahaha!”. Aku tak mengerti apa yang kau tertawakan. Apakah lontaran tanya pers yang menggantung di udara ataukah peluh mereka yang berjatuhan sia-sia. Aku sangat berharap, kau menertawai dirimu sendiri yang mulai kehabisan alibi atas kesengsaraan kami.
Terakhir kali aku mendengar cerita dari kerabat yang pernah kau durhakai, keluargamu telah mencapai titik kehancuran. Istrimu berselingkuh dengan supirnya seperti kau yang meniduri sekretaris pribadimu. Anak lelakimu sukses menjadi bandar marijuana dan pil anjing yang sekarang mendekam di sel mewah yang kau bayari setiap bulannya.
Lalu putrimu satu-satunya dikabarkan sedang menempuh pendidikan setingkat doktoral di negeri tetangga. Dia kau bilang pembangkang karena tak menganggapmu sebagai Ayah.
Setiap kali mendengar kabar-kabar tentangmu, kami sekeluarga selalu mendiskusikannya hingga larut. Ayahku yang lumpuh mendengarkan dengan hikmat lewat pembaringan kumal yang hampir busuk.
Ibuku yang buta terduduk di sudut dapur yang penuh dengan jelaga yang tanpa dia sadari akan berjatuhan ke tubuhnya seperti salju berwarna hitam.
Saudara-saudaraku membahas setiap lakumu seperti para 'wakil rakyat' memperdebatkan sebuah kasus yang bukan bidangnya. Perbincangan itu menjadi debat kusir yang berujung pada ketidaksepahaman pendapat oleh masing-masing pihak.
Sebab itulah aku selalu paham mengapa setiap kasus yang digarap oleh sekumpulan orang yang mengaku mewakili rakyat itu, tak pernah jelas penyelesaiannya.
***
Pagi ini, ketika aku jalan kaki menuju kampus, untuk sekadar berdiskusi dengan rekan-rekan se-komunitas untuk membahas penerbitan majalah mahasiswa edisi perdana kami, Majalah Veritas Unika namanya. Aku tak sengaja melihat sosokmu yang berkaca mata hitam di dalam sebuah kendaraan mewah berplat merah.
Aku berjalan mendekat menuju kaca jendela di samping kananmu, lalu berdiri dan menatapmu dalam terpaku. Ingin sekali kupecahkan kaca yang membatasi kita, lalu kujambakkan rambutmu. Menghantamkannya kemana saja, tapi aku hanya bisa terpaku dengan air mata menetes.
“Sampaikan salamku pada Ayahmu!," katamu, lalu kaca naik dan kau kenakan lagi kaca mata hitam itu.
Aku melangkah terburu-buru menuju ke tepi. Entah mengapa ada sesuatu yang sesak di hatiku. Apakah aku merasa, aku benar-benar kehilangan seorang paman gembul yang suka bercanda denganku di teras rumah atau karena dendam berlipat ganda yang semakin menumpuk dan merasa jijik atas pertemuan tadi, entahlah.
Setengah jam memikirkanmu membuatku muak, lalu tersadar, Aku melanjutkan perjalananku menuju kampus sambil matahari bersembunyi di sudut bumi yang lain.
Pagi ini, sehari setelah perjumpaan kita di perempatan jalan, sebuah berita tiba-tiba saja menjadi isu utama yang dibahas di semua media massa. Berita semakin gempar karena tentang salah satu kandidat terkuat pilkada bulan depan.
Kau, laki-laki yang pernah kupanggil paman, yang pernah menemaniku bermain kelereng di halaman. Dulu membelikan kami jajanan dan es cendol kesukaan, terpanggang di atas mobil mewah terbarumu.
Mobil yang kemungkinan besar kau dengan mengambil alih hak anak-anak yang sedang menggelandang. Hak para guru honorer yang air ludahnya hampir mengering. Uang yang harusnya menjadi jatah bayi-bayi kurang asam folat yang tergeletak di atas kasur apek dengan kepala yang terus membesar. Begitulah televisi memberitakan.
Aku menelan ludah berkali-kali. Bukan karena bangkai tubuh gosong yang tersorot kamera. Bukan pula karena tangisan dari istrimu yang meraung sadis padahal kepura-puraan bertahta balik kaca mata hitamnya.
Aku hanya takut ada jejakku yang tertinggal di garasi rumah kalian. Jejak yang mungkin tak sempat kuhapus semalam.(*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah VERITAS UNIKA periode 2013-2014.