Oleh: Suriono Brandoi Siringoringo, SE |
"Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda yang cinta akan tanah air maka aku akan menguncang dunia.” (Soekarno).
Kala itu, Soekarno begitu percaya diri mengatakan tersebut karena ada begitu banyak kisah heroik yang menghiasi jejak pergerakan perjuangan kaum muda pra-kemerdekaan untuk memerdekakan bangsa Indonesia.
Dimana pemuda bangkit dan rela menaruhkan nyawanya demi satu tujuan yaitu memerdekakan bangsa ini. Dan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 yang diperingati hari ini, menjadi dasar dan semangat baru bagi semangat perjuangan memerdekakan diri.
Sekarang ini, andai Bung Karno masih ada, apakah beliau masih berani membentuk sebuah negara yang kuat hanya dengan 10 pemuda untuk mengguncang dunia?
Sejatinya peran pemuda dalam memaknai peringatan sumpah pemuda saat ini justru lebih berat lagi. Tapi sayangnya kalau kita mau jujur, dan mau mengingat kembali apa yang telah kita berikan untuk bangsa ini?
Saya kira omong kosong atau sudah jarang ditemui peran kita dalam menyumbangkan sesuatu untuk negeri ini. Sudah langka sekali membuat bangga bangsa dengan sesuatu yang bersifat mencengangkan dunia dengan hal-hal yang positif.
Malah makin kesini kita justru semakin merusak tatanan yang telah diperjuangkan dan dibentuk oleh para pejuang kemerdekaan. Arus globalisasi yang tak terbendung telah menghanyutkan sebagian besar dari kita. Hedonisme telah merubah banyak di antara kita dari kutu buku menjadi pencinta club malam, miras bahkan narkoba.
Pergerakan pun seringkali tidak substansif dan hanya sekedar corong ’sponsor’ saja. Tak jarang gerakan pemuda tak mengundang simpati melainkan antipati dari masyarakat lantaran gerakan mereka tak independen lagi.
Beberapa aksi yang digelar cenderung berbau politis alias ditunggangi oleh pihak yang punya kepentingan. Banyak yang ikut demonstrasi tak menguasai wacana sehingga kesannya ikut-ikutan.
Ujung-ujungnya, idealisme yang diagung-agungkan sejak masa lampau akhirnya dengan sendirinya tergerus oleh zaman yang menghadirkan persaingan yang tidak sehat.
Idealisme untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat sirna oleh kemilau kemajuan teknologi yang memudahkan hidup dengan mengenyampingkan semangat berpikir, doyan yang instan.
Bangkit dan Bersatulah
Nasionalisme pemuda pada tahun 1928 adalah bangkitnya rasa senasib dan sepenanggungan atas pahit dan perihnya penjajahan. Dan ikrar pemuda di zaman dahulu bukan hanya di mulut tapi juga dibarengi dengan aktualisasi yang harus dibayar dengan sempitnya ruang penjara dan asingnya pulau pembuangan.
Untuk itu, sebagai pemuda yang besar di zaman serba cepat, sudah semestinya kita jangan hanya sekadar memperingati hari sumpah pemuda dan lalu melupakannya begitu saja. Jangan sampai peringatan ini hanya menjadi sekadar upacara seremonial saja.
Jangan sampai juga hanya sekadar menjadi sejarah masa lampau yang hanya bisa diingat sebagai sebuah sejarah, tanpa pernah bisa dimaknai sebagai sebuah pengingat dan penabuh semangat bagi pemuda bangsa ini.
Marilah kita bangun bangsa ini dengan semangat kejujuran. Mengaku salah dan tidak saling menyalahkan. Saling mengkoreksi dan saling mengisi. Melakukan tindakan nyata untuk memerangi kebodohan, ketertindasan, dan ketidakberdayaan.
Kita adalah para pemuda yang dijadikan tiang penyangga bagi negara kita, jangan kita rapuh karena hembusan angin dan terpaan badai politik yang terus menerjang dan mengadu domba kita. Mereka hanya menggunakan kita sebagai alat untuk memenuhi nafsu keinginan dan keserakahan mereka.
Jangan sekadar beretorika dan berteriak di jalanan. Tetapi hendaknya bisa memberikan sebuah kontribusi yang konkrit demi semakin membaiknya kondisi negeri ini.
Bangkit dan bersatulah, ingatlah Indonesia pernah ditakuti di dunia, karena apa? Karena Indonesia adalah negara yang besar dan rasa persatuan yang kuat pada masyarakatnya yang tidak bisa digoyahkan.
Mari bangkitkan kembali rasa persatuan diantara kita, hilangkan perpecahan. Tunjukkan pada dunia bahwa kita bisa lebih baik dari sekadar melakukan anarkisme dan tawuran.
Kita bisa lebih intelek dan juga bisa lebih konkrit ketimbang terkungkung pada euforia retorika belaka. Tetap beraksi, fokus, dan mengedepankan intelektualitas sebagai kekuatan satu-satunya.