Ilustrasi.(Unair.News). |
Suriono Brandoi Siringoringo, SE
Seiring kemajuan zaman dan pesatnya perkembangan teknologi, interaksi kegiatan-kegiatan politik pada pemilihan tingkat apapun tampaknya sebagian besar telah berfokus di media sosial.
Media sosial sebagai fasilitas interaksi sosial dan tempat mempertukarkan informasi, baik Facebook, WhatsApp dan sebagainya telah difungsikan sebagai salah satu perangkat marketing politik.
Tak ketinggalan, Kabupaten Samosir yang tahun 2020 ini memilih kepala daerahnya juga mengalami hal yang sama. Media sosial, utamanya grup-grup facebook, menghangat. Para simpatisan dan tim-tim sukses mulai unjuk gigi.
Namun sayangnya, makin kesini jika diperhatikan, linamasa kita ditumpuk nuansa-nuansa kebencian, ataupun kata-kata yang menyiratkan celaan, nyinyiran.
Bahkan mencemooh saudara-saudara kita yang berbeda pilihan, debat kusir dan ratusan koleksi frasa provokatif yang tak ayal membuat politik tersungkur menjadi kata yang buruk. Utamanya di media sosial.
Tak jarang, kita menemukan kata-kata berkonotasi buruk seperti penjilat dan sumpah serapah, terhadap mereka yang berbeda pilihan.
Kita larut dalam hiruk pikuk politik dan aktivitas minor di media sosial. Rasa saling mencurigai, saling mengangkangi dan saling membenci, yang tanpa disadari telah menghabiskan energi positif yang kita miliki.
Kebersamaan kita yang selama ini terajut indah dalam balutan 'Dalihan Natolu', mulai terobrak-abrik kepentingan politik kekuasan. Cara-cara berbalas komentar, yang bahkan tak pernah sampai dan layak disebut debat itu, membuat keadaan makin karut marut.
Media Sosial Mimbar Ide dan Gagasan
Media sosial sebagai fasilitas interaksi sosial dan tempat mempertukarkan informasi. Dalam posisi itu, ia sebetulnya dapat menjadi corong untuk melakukan memberi saran dan masukan terhadap pemerintah, sebagaimana yang dimaksud David Easton dalam model sistem politik yang ia ampuh.
Input yang berupa tuntutan atau dukungan, jika difabrikasi di media sosial dengan bagus, akan memengaruhi, tentu secara informal, bagaimana keputusan-keputusan pada suprastruktur politik. Pada gilirannya, interaksi komunikasi ini akan memberikan output kebijakan yang lebih baik.
Dalam pilkada, media sosial dapat dijadikan mimbar untuk mewacanakan kiat-kiat dan bagaimana calon kita akan merealisasikan janji-janji kampanye umpamanya, jika terpilih nanti.
Melalui jalan ini, dalam konteks pilkada, kita dapat menumpuki ruang siber dengan ragam ide dan gagasan yang berbobot-berkualitas. Disana, kita disorongkan khazanah pikiran para kandidat kita. Disana pula kritik hadir sebagai anasir penting nan krusial. Semuanya demi kepentingan pembangunan dan kemajuan daerah yang kita cintai ini.
Akhir kata, demokrasi tidak mengajarkan permusuhan, malah menghargai perbedaan. Kenapa harus sungkan mengangkat topi terhadap kebaikan, meski kita berbeda.
Karena perbedaan itu hal yang biasa. Jadikan itu wahana saling melengkapi. Yang tidak biasa, ketika kita sibuk saling menyalahkan, menebar ketakutan, mendesain suasana kelam apalagi sekadar berfantasi demi sensasi kebencian.