Ilustrasi.(Majalah berkat). |
Hujan menguliti kelam, berkelebat riuhan angin yang menelisik masuk ke setiap lembaran kulit.
Di sana, di kolong langit seorang perempuan paruh baya sedang berteriak lantang memencah kesenyapan senja.
Dengan wajah beringas, bibir perempuan itu mengeluarkan berbagai macam umpatan, cacian dan makian terhadap nasib, ia mengutuki nasib.
Nasib!! Ya, dia mengutuki nasib jahanam. "Aku dulu mengimpikan kehidupan yang serba berkecukupan dan bahagia. Sehingga dari dulu segala macam cara yang menurutnya terbaik dilakukan untuk mewujudkan impian itu.
"Tapi apa yang kini aku dapatkan? Malah kebalikannya. Sebenarnya apa maumu, nasib? Mengapa hingga hidupku yang memasuki usia senja ini justru dililit utang, anak-anakku silih berganti menaruh beban dan masalah yang berat ke pundakku?," teriaknya.
Mengapa..mengapa dan mengapa? Hahh?," teriak perempuan itu dengan suara lantang ke wajah langit.
Sekian menit ia menantang langit, ia pun akhirnya memilih mengalah menurunkan amarah yang membakar hati.
Lantas ia pun mulai menangis dan tersungkur bersujud di tanah. Bukankah hanya itu yang dapat ia lakukan saat ini?***