Ilustrasi.(Brilio.net). |
Suriono Brandoi Siringoringo
Kita tentu sepakat bahwa MENINGGAL dan TEWAS adalah sama-sama maknanya MATI. Tapi dari sisi makna semantiknya pasti berbeda. Karena tidak mungkin orang yang MENINGGAL akibat sakit kita sebut TEWAS.
Lantas, siapa yang bisa disebut TEWAS? Yaitu orang yang MATI akibat sebuah peristiwa. Misalnya kecelakaan atau bunuh diri. Meski orang yang MATI akibat kecelakaan atau bunuh diri bisa juga disebut MENINGGAL.
Nah, ini yang belum kita pahami bahwa dalam bahasa Indonesia juga berlaku makna semantik.
Untuk kasus MUDIK dan PULANG KAMPUNG juga berlaku makna semantik. MUDIK dan PULKAM sama-sama pulang ke kampung, tapi makna semantiknya jelas berbeda.
Dalam KBBI daring disebutkan mudik artinya pergi. Baru pada tesaurus kedua, mudik diartikan sebagai aktivitas pulang kampung. Sejatinya, memang mudik dan pulkam memiliki arti yang kurang lebih sama. Sama-sama aktivitas berpindah dari satu daerah ke daerah lain.
Namun PULKAM bisa kapan saja. Bisa setiap minggu, bisa pula tiap bulan, dan sifatnya individu. Tapi MUDIK adalah peristiwa tahunan yang hanya ada saat menjelang hari raya keagamaan dan sifatnya massal.
Saya belum pernah mendapatkan jawaban “MUDIK” ketika saya bertanya kepada teman kuliah dulu atau teman masa sekolah, saat ingin pulang di akhir bulan. “Lae mau kemana?” Dia pasti jawab, “Mau PULKAM dulu”. Gak ada yang bilang “Aku MUDIK” dulu. Kenapa? Karena memang bukan momennya.
Presiden Jokowi terlihat polos di hadapan Najwa, tapi ia menyimpan kebenaran yang tidak diketahui sama sekali oleh anda, oleh kita, oleh mereka, termasuk oleh Najwa sendiri.
Terakhir, ketika Jokowi memberikan definisi antara mudik dan pulkam sedikit berbeda itu karena ia ingin yang terbaik dalam rangka mempercepat terputusnya mata rantai covid-19.
Lalu untuk apa kita menciptakan ruang-ruang perdebatan untuk memaksakan bahwa itu salah, ini yang benar? Mudik dilarang berarti jelang lebaran tidak ada aktivitas mudik selama pandemi. Selamat berpuasa buat saudara-saudara umat muslim.